Makalah
Perkembangan Agama Budha di Jepang
Disusun oleh:
Sukmaya 1113032100043
Achmad tedi anwar 1113032100077
Agung saputra 1113032100066
Universitas islam negeri syarif hidayatullah
Fakultas ushuluddin
Jurusaan perbandingan agama
2015
A.
Perkembangan Agama Budha Dan penyebaranya
1.
Perkembangan
Agama Budha di Jepang
Agama budha
masuk ke jepang di perkirakan pada tahun 853 atau 552M. Ketika sebuah kerjaan
kecil di korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di jepang. Di samping membawa
berbagai hadiah, delegasi terssebut juga meminta kaisar dan rakyatnya memeluk
agama Budha. Suku Soga menerima agama ini, teteapi suku suku lainya menolak
karena di anggap menghina kepercayaan dan
terutama para dewa mereka[1].
2.
Sejarah
Penyebaran dan perkembangan agama budha Di Jepang
Berbeda dengan keadaan di China di mana agama Buddha
berawal dari lingkungan keluarga, di Jepang pengenalan agama Buddha
menjangkau bangsa Jepang secara menyeluruh. Agama Buddha diperkenalkan ke Jepang melalui
Kudara di Pakche, salah satu kerajaan di semenanjung Korea pada tahun 522, dan
oleh penguasa politik Jepang pada waktu itu dimaksudkan sebagai perlindungan
bagi negara. Agama baru ini diterima oleh dinasti Soga yang berkuasa. Sejarah
agama Buddha di Jepang dikelompokkan ke dalam tiga periode, yakni :
Ø Periode kedatangan (abad ke 6-7), mencakup periode
Asuka dan Nara
Ø Periode nasionalisasi (abad 9-14), mencakup periode Aeian
dan Kamakura
Ø Periode lanjutan (abad 15-20), mencakup periode
Muromachi, Momoyama, dan Edo serta zaman modern
Periode
kedatangan
Manifestasi
agama Buddha pada periode ini adalah penyesuaian (adaptasi) terhadap
kepercayaan asli bangsa Jepang, yakni agama Shinto. Para bhikṣu
pada masa ini harus dapat melaksanakan upacara keagamaan bersamaan dengan
upacara pemujaan nenek moyang. Secara bertahap agama Buddha dapat
mempertahankan diri dan berkembang di antara rakyat banyak tanpa
menyisihkan agama Shinto. Penerapan ajaran agama Buddha
dari China oleh Jepang berdasarkan latar belakang karakter kebudayaan China, di
mana agama Buddha diterima oleh keluarga kaum aristocrat. Kaum
aristocrat di Jepang pada waktu itu adalah kaum intelektual. Begitu kaum
aristocrat menerima agama Buddha, maka penyebarannya ke seluruh negeri
berlangsung dengan cepat. Beberapa penguasa di Jepang
pada zaman kuno menerima agama Buddha sebagai pedoman hidup. Pangeran
Shotoku (574-621), di bawah pemerintahan Ratu Suiko banyak berperan dalam
perkembangan agama Buddha di Jepang, misalnya dengan mendirikan Vihāra
Horyuji dan menulis banyak komentar mengenai ketiga kitab suci agama Buddha.[2]
Pada periode ini tercatat enam aliran agama Buddha
yang diperkenalkan dan berkembang di Jepang, yakni :
Ø Kusha (aliran Abhidharmakosa),
Ø Sanron (aliran Tiga Kitab Suci dari Madyamika),
Ø Jojitsu (aliran Satyasiddhi-sastra),
Ø Kegon (aliran Avatamsaka),
Ø Hosso (aliran Dharma-laksana),
Ø Ratsu (aliran Vinaya).
Periode nasionalisasi
Periode ini diawali dengan
munculnya dua aliran agama Buddha di Jepang, yaitu aliran Tendai
oleh Saicho (797-822) dan aliran Shingon oleh Kukai (774-835). Tujuan
dari para pendiri aliran tersebut adalah agar agama Buddha dapat
diterima oleh rakyat Jepang. Selama pemerintahan Nara
(710-884) sesungguhnya agama Buddha telah menjadi agama negara. Kaisar
Shomu secara aktif telah mempropagandakan agama ini dan membuat patung Buddha
yang besar di Nara serta menjadikannya sebagai pusat kebudayaan nasional. Di
tiap propinsi dibangun pagoda-pagoda dan sistem pembabaran Dhamma yang
efektif sesuai dengan keadaan setempat. Sekte Kegon (Huan
Yen) versi Jepang memberikan ideologi Buddhis baru bagi negara. Selama
pemerintahan Nara terdapat 6 sekte yang berkembang di Jepang. Sekte Kagon
(sekte Hwaom Korea) adalah sekte yang mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa
semua yang ada di dalam ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang terwujud
di dalam tubuh Buddha. Pandangan dan kepercayaan ini didasarkan pada
Avatamsamkasutra. Pendidikan dan pemikiran Ritsu terutama lebih ditekankan pada
disiplin (vinaya) serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada
saat penyelamat alam yang ideal yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan
Lotus Sutra dan penekanannya pada peranan umat seperti penjelasan dalam
Vimalakitri Sutra. Dengan adanya cara penyelamatan yang ideal ini menjadi jelas
bagi raja bahwa rohaniawan terlalu banyak berperan dan aktif di dalam politik. [3]
Selama pemerintahan anak
perempuan (putri) Kaisar Shoma, bhikṣu Donkyu yang bertindak selaku
pejabat pemerintah dari putri kaisar tersebut telah mencoba untuk menjadi
kaisar. Hanya karena adanya perlawanan para aristocrat, maka Jepang tidak
menjadi negara teokrasi beragama Buddha aliran Tibet. Sebagian dari
perlawanan ini karena adanya tekanan dari Saṅgha, karena adanya situasi yang
tidak menguntungkan ini, akhirnya pengadilan memutuskan untuk memindahkan pusat
pemerintahan ke Kyoto pada tahun 794. Pada tahun 804, Bhikṣu
Saichi dikirim ke China dan kemudian kembali ke Jepang untuk mengajarkan
(membabarkan) doktrin dari Tien Tai (dalam bahasa Jepang disebut Tendai).
Walaupun sekte Hasso
telah mengajarkan bahwa ada beberapa yang tidak bisa diselamatkan, tetapi Tendai
menekankan pembabatan dan penyelamatan alam. Agama Buddha Jepang yang
berkarakter Jepang terus berlangsung dan dapat didengar dalam pendidikan dan
pemikiran baru dari masa Huan. Kompleks Vihāra Tendai di atas
pegunungan Hie dikenal sebagai cikal bakal dari agama Buddha di dalam menyelamatkan
keamanan negara.
B. Aliran – aliran, ajaran – ajaran beserta tokohnya
Aliran Shingon adalah
salah satu bentuk dari aliran Tantra yang diperkenalkan kepada Jepang oleh Bhikṣu
Kukai di awal abad ke-9. Agama Buddha Shingon menentukan
penyatuan dari pemeluknya dengan Buddha (persatuan Kawula-Gusti) dalam
berbagai macam bentuknya. Dalam perkembangan
sekte-sekte Buddhis, Tendai dan Shingon bercampur baur dengan
agama Shinto yang nampak dalam penyatuan pemujaan dewa Shinto dan
dewa-dewa dalam agama Buddha, sehingga terjadi persekutuan pemujaan. Gerakan dalam agama Buddha
terjadi pada abad ke-10 dengan munculnya kepercayaan terhadap Buddha
Amitābha. Banyak orang yang memeluk kepercayaan ini karena kesederhanaan
ajaran, yakni dengan mengucapkan ”Amitābha Buddha” secara berulang-ulang
akan terlahir di Tanah Suci (Sukhavati). Kemudian gerakan lain banyak muncul
pada abad ke-13 karena banyak didorong oleh cita-cita umat awam untuk mencapai
kemurnian dan kesederhanaan ajaran maupun caranya. Pandangan ini banyak dianut
oleh para petani dan prajurit. Pada zaman Kamakura
mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang
tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang
diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren
yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282).[4]
1. Perkembangan Nichiren
Pada abad ke-13, agama Buddha
di Jepang menghasilkan seorang pembaharu yakni Bhikṣu Nichiren
(1222-1282). Pemimpin yang memiliki kharisma ini mengajarkan bahwa keselamatan
dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci NamaMyohorengekyo (terpujilah Sadharmapundarika Sūtra) dan beliau tidak ragu-ragu
untuk mengkritik orang lain. Ramalan Nichiren mengenai bangsa Mongol yang akan
menyerang Jepang menyebabkan sekte ini terkenal di Jepang. Dalam sekte Nichiren
terdapat dua kelompok yang besar, yaitu :
Ø Nichiren Shu
Ø Nichiren Shoshu
Setelah Nichiren wafat, para pengikutnya sepakat bahwa
yang bertanggung jawab memelihara makamnya seharusnya dilakukan secara
bergiliran oleh para siswa utamanya. Seorang di antaranya adalah Niko yang
menyatakan bahwa jika gilirannya tiba maka dia bersama pengikutnya akan
memelihara makam itu secara tetap. Sebaliknya para siswa utama yang lain, di
antaranya Nichiko meninggalkan Gunung Minofu, tempat makam Nichiren di Candi
Kuonvi, dan pada tahun 1290 mendirikan Vihāra Daisekeji, yang kini merupakan pusat Nichiren
Shoshu di kaki Gunung Fuji. Perlawanan Nichiko kepada lima siswa yang lain
tidak hanya terbatas pada pewarisan makam Nichiren, tetapi lebih daripada itu,
yaitu pemisahan total secara doctrinal (ajaran). Dalam melawan 5 teman
seperguruannya yang memegang teguh 28 pasal dari Sadharmapundarika Sūtra
(yakni 14 pasal pertama yang disebut Jakumon dan 14 pasal berikut yang
disebut Honmonyang) yang merupakan sifat eternal dari Buddha
untuk menyatakan diri Beliau agar manusia dapat mengetahui dan berkomunikasi
dengan beliau.
Nichiren Shoshu berkeyakinan bahwa Nichiren
adalah pendiri agama dan Nichiko sebagai pendiri sekte ajarannya. Nichiren
adalah seorang Bodhisatta (Bosatsu) dan bukan Buddha
zaman sekarang. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan yang tajam dan tidak
adanya kesesuaian paham dan langkah antara sekte Nichiren Shoshu dengan
sekte-sekte agama Buddha yang lain.[5]
Pada khotbahnya yang terakhir yang dikenal dalam
bahasa Jepang sebagai ohudsu myogo menyerukan kesatuan antara penguasa
negara dan lembaga Buddhis dan menuntut agar agama Buddha dinyatakan
sebagai agama negara. Dengan berprinsip bahwa masa ini adalah zaman mappo
(akhir zaman) sehingga terjadi kemerosotan, maka dalam agama Buddha,
Nichiren Shoshu yang paling berhak memberikan keselamatan yang berharga,
sedangkan Buddha Gotama menduduki posisi kedua. Bahkan Lotus Sūtra
yang oleh aliran Nichiren dipandang sebagai puncak ajaran Buddha
Gotama dianggap kurang penting dibandingkan dengan 7 suku kata nichiren
vat tu nama Muoho rengekyo (terpujilah pembabaran Lotus Sūtra). Pertentangan
antara Nichiren Shoshu dengan sekte-sekte agama Buddha yang masih
berpegang pada ajaran Buddha Gotama dipertajam dengan ajaran "semua
manusia dan makhluk-makhluk surga kecuali Buddha adalah pengikut jalan sesat, oleh karena itu sūtra-sūtra
aliran Kegon, Agon, Hodo, hanya Nehan, dan Danichi, semua Sūtra
kecuali Lotus Sūtra, adalah ajaran sesat. Semua orang yang membimbing
orang 7 sekte kecuali sekte Tendai adalah ”Setan Penyiksa” yang mengatur
orang-orang ke jalan sesat. (All
of the human and heavenly realm except that of the Buddha are evil ways.
Therefore Kegon, Agon, Hodo, hannya, Nehan, Dainiehi sutras all the sutras
except the Lotus Sutra, are evil ways. All those who lead people into any of
the seven sects except Tendai are tormenting devils leading people in to the
evil paths). Dengan berakhirnya periode Kamakura, maka di
Jepang tidak terdapat perkembangan agama yang berarti, kecuali meluasnya
beberapa aliran.
Pada
zaman Edo (1603-1867), agama Buddha sudah kembali menjadi agama
nasional di bawah perlindungan Shogun Tokogawa. Pada masa pemerintahan
Shogun Tokogawa, agama Buddha di Jepang menjadi tangan (alat) dari
pemerintah. Vihāra sering digunakan sebagai pendataan dan pendaftaran
penduduk dan dijadikan salah satu cara untuk mencegah penyebaran agama Kristen
yang oleh pemerintah feodal dianggap sebagai ancaman politik. Agama Buddha
tidak begitu populer di kalangan masyarakat pada masa pemerintahan Meiji
(1868-1912). Pada waktu itu, muncul usaha untuk menjadikan Shinto
sebagai agama negara, yang dilakukan dengan cara memurnikan ajaran Shinto
yang telah bercampur dengan agama Buddha, dan untuk itu dibutuhkan suatu
penyelesaian. Cara yang dilakukan antara lain dengan menyita tanah vihāra
dan membatasi gerak-gerik para bhikṣu. Keadaan tersebut berubah setelah restorasi Meiji
pada tahun 1868, agama Buddha menghadapi saingan dari agama asli, Shinto.
Namun hal itu dinetralisir dengan kebebasan memeluk agama yang diberikan oleh
undang-undang dasar Jepang.
Selama periode ultra nasional (1930-1945)
pemikir-pemikir agama Buddha menyerukan penyatuan dunia Timur (Asia
Timur Raya) ke dalam tanah suci Buddha (Buddha Land) di bawah
pengawasan Jepang. Setelah perang berakhir, kelompok-kelompok agama Buddha yang
baru dan lama mulai menyatakan bahwa agama Buddha merupakan agama negara
yang penuh dengan perdamaian dan persaudaraan. Mendekati berakhirnya masa perang, aktivitas umat Buddha terlihat
lebih nyata, diantaranya adalah gerakan dari agama baru seperti Soka Gokkai dari Nichiren Shoshu dan Resso Kosei Kai.
Tokoh utama dalam penyebaran agama Budha di jepang adalah pangeran Shotoku Taishi (547-621 M) yang naik tahta pada593 M. Yang perananya dalam agama Buddha dapat di sejajarkan Raja Asoka di India. Ia mengirimkan para ahli jepang ke korea dan cina untkuk mempelajari agama, seni dan lmu pengetahuan. Pada tahun 607 M. Ia mendirikan kuil kuil i nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri hingga sekarang. Agama Buddha mengalami perkembangaan pesat pada periode nara (710-784 M) karena banyak suku suku berpengaruh dan bangsawan bangsawan terpandang memluk agama tersebut.
Tokoh utama dalam penyebaran agama Budha di jepang adalah pangeran Shotoku Taishi (547-621 M) yang naik tahta pada593 M. Yang perananya dalam agama Buddha dapat di sejajarkan Raja Asoka di India. Ia mengirimkan para ahli jepang ke korea dan cina untkuk mempelajari agama, seni dan lmu pengetahuan. Pada tahun 607 M. Ia mendirikan kuil kuil i nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri hingga sekarang. Agama Buddha mengalami perkembangaan pesat pada periode nara (710-784 M) karena banyak suku suku berpengaruh dan bangsawan bangsawan terpandang memluk agama tersebut.
Buddha di anggap oleh para penguasa dapat menjadi
sarana utuk mencapai kesejahtraan rakyat. Pada masa Nara ini mucul beberapa
aliran dalam agama buddha yang mengambil bentuk cina diantaranya aliran Hoso
yang berpusat di Kofukuji dan Yakusuji, kemudian aliran Kegon dan aliran Ritsu.
Dimasa kekuasaa Dinasti Heiyan (794-1185 M) muncul usaha usaha untuk memadukan
kepercayaan dan tradisi asli jepang dengan agama budhha anatara lain melalui
ajaran Saicho dan Kukai. yang pertama, yang kemudian terkenal dngan sebutan
Dengyo Daichi mengajarka bahwa sebenernya dewa dewa agama buddha adalah sama
dengan dewa dewa dalam agama sinto, yang di sebut Kami, semntara Kukai yang
selanjutnya terkenal dengan sebutan Kobo
Daishi mnajarkan bahwa dewa tertiggi dalam agama Sinto adalah sama dengan dewa
tertinggi dalam agama buddha,
memasuki abad ke 13M muncul aliran aliran di jepang yang sejalan dengan perselisihan dan perebutan kekusaan di antara para penguasa, yaitu aliran Zain, aliran Amida, dan Niciren Souzu. Aliran zein yang mempunyai jalur pada ajaran Bodidarma di Cina betujuan untuk mengajarkan bahwa pencerahan haya dapat di peroleh melalui pemikira yang intuitif dengan menekankan pada disiplindalam melakukan samadi untuk mencapa pencerahan dan menolak doa doa atau kercayaan terhadap juru selamat. Aliran zein terbagi menjadi 2 golongan yaitu Soto zein dengan toohnya dogen dan aliran Rinzai dengan tokohnya Eisai.
Aliran Amida atau tanah suci mengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah istilah yang sederhana dengan cara percaya kepada budhha dan dengan menyebut Amidha orang akan selamat. Aliran ini mendapat banyak pengikut d kalangan petani danmenjadi semacam agama Mesianis ada saat terjadi kemelut sosial. Aliaran Niciren Souzu di dirikan oleh niciren. Ajaranya bertujuan mengembalikan ajaran agama buddha kepada bentuknya yang murni yang akan di jadikanya dasar bagi perbaikan masyarakat jepang dan menolak ritualisme alian tanah suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tapi ekslusif. Pada masa Tokugawa yang d kenal sebagai mas kedamaian di jepang, agama budhha di jadikan agama resmi negara. Pemerintah juga megatur kehidupan keagamaan dan mengunakanya untuk memeliahara tata tertib sosial dan kehidpan spiritual bangsa. Namun kaedaan terebut mengakibatkan rakyat menjadi kurang senang terhdap penguasa dan mendorong timbulnya aliran aliran baru dalam agama asli jepang yang berusaha untuk mengembalikan masyarakat jepang terhadap kepada kepercayaan asli mereka yaitu sinto [6]
memasuki abad ke 13M muncul aliran aliran di jepang yang sejalan dengan perselisihan dan perebutan kekusaan di antara para penguasa, yaitu aliran Zain, aliran Amida, dan Niciren Souzu. Aliran zein yang mempunyai jalur pada ajaran Bodidarma di Cina betujuan untuk mengajarkan bahwa pencerahan haya dapat di peroleh melalui pemikira yang intuitif dengan menekankan pada disiplindalam melakukan samadi untuk mencapa pencerahan dan menolak doa doa atau kercayaan terhadap juru selamat. Aliran zein terbagi menjadi 2 golongan yaitu Soto zein dengan toohnya dogen dan aliran Rinzai dengan tokohnya Eisai.
Aliran Amida atau tanah suci mengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah istilah yang sederhana dengan cara percaya kepada budhha dan dengan menyebut Amidha orang akan selamat. Aliran ini mendapat banyak pengikut d kalangan petani danmenjadi semacam agama Mesianis ada saat terjadi kemelut sosial. Aliaran Niciren Souzu di dirikan oleh niciren. Ajaranya bertujuan mengembalikan ajaran agama buddha kepada bentuknya yang murni yang akan di jadikanya dasar bagi perbaikan masyarakat jepang dan menolak ritualisme alian tanah suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tapi ekslusif. Pada masa Tokugawa yang d kenal sebagai mas kedamaian di jepang, agama budhha di jadikan agama resmi negara. Pemerintah juga megatur kehidupan keagamaan dan mengunakanya untuk memeliahara tata tertib sosial dan kehidpan spiritual bangsa. Namun kaedaan terebut mengakibatkan rakyat menjadi kurang senang terhdap penguasa dan mendorong timbulnya aliran aliran baru dalam agama asli jepang yang berusaha untuk mengembalikan masyarakat jepang terhadap kepada kepercayaan asli mereka yaitu sinto [6]
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Agama budha masuk ke
jepang di perkirakan pada tahun 853 atu 552 m ketika sebuah kerajaan kecil di
korea mengirimkan sebuah delegasi kaisar kimmeo di jepang membawa berbagai
hadiah kaisar meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agma budhasuku soga
menerima agama ini tokoh utama penebaran agama budha di jepang adalah pan geren
sohotoku yang perananya agama budha dapat di sejatrakan dengan raja asoka di
india ia juga menetpkan agama budha di negra, dan menerjemahkan sendiri kitab
suci shadarma agama budha juga mempunyai ajaran_ajaranya seperti
Untuk mencintai alam
Ajakan untuk cinta
damai
DAFTAR PUSTAKA
Djam’anuri,
Agama Jepang. Yogyakarta, GarudaPress, 1998
Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta, Yayasan obor
Indonesia, 1995
Ali, Mukti (pengentar). Agama-agama di Dunia Yogyakarta, SUEPESS,
1998
[1]
Djam anuri, Agama Jepang. Hal.24
[2]
Mukti Ali (pengentar). Agama-agama di Dunia h.141
[3]
Nichiren (1222-1282) adalah tokoh utama dalam sejarah Jepang yang giat
dalam usaha pembaharuan sosial
[4]
Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 1995,hal.
175
[5]
Nichiren (1222-1282) adalah tokoh utama dalam sejarah Jepang yang giat
dalam usaha pembaharuan sosial
[6]
Tokoh penting yang berkontribusi dalam pembaharuuan agama Buddha, hidup pada
tahun 774-835.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar