Selasa, 26 Mei 2015



Makalah
Perkembangan Agama Budha di Jepang
Disusun oleh:
Sukmaya 1113032100043
Achmad tedi anwar 1113032100077
Agung saputra 1113032100066



Universitas islam negeri syarif hidayatullah
Fakultas ushuluddin
Jurusaan perbandingan agama
2015
A.  Perkembangan Agama Budha Dan penyebaranya
1.     Perkembangan Agama Budha di Jepang
Agama budha masuk ke jepang di perkirakan pada tahun 853 atau 552M. Ketika sebuah kerjaan kecil di korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar  Kimmeo Tenno di jepang. Di samping membawa berbagai hadiah, delegasi terssebut juga meminta kaisar dan rakyatnya memeluk agama Budha. Suku Soga menerima agama ini, teteapi suku suku lainya menolak karena di anggap menghina  kepercayaan dan terutama para dewa mereka[1].
2.     Sejarah Penyebaran dan perkembangan agama budha Di Jepang     
Berbeda dengan keadaan di China di mana agama Buddha berawal dari lingkungan keluarga, di Jepang pengenalan agama Buddha menjangkau bangsa Jepang secara menyeluruh. Agama Buddha diperkenalkan ke Jepang melalui Kudara di Pakche, salah satu kerajaan di semenanjung Korea pada tahun 522, dan oleh penguasa politik Jepang pada waktu itu dimaksudkan sebagai perlindungan bagi negara. Agama baru ini diterima oleh dinasti Soga yang berkuasa. Sejarah agama Buddha di Jepang dikelompokkan ke dalam tiga periode, yakni :
Ø  Periode kedatangan (abad ke 6-7), mencakup periode Asuka dan Nara
Ø  Periode nasionalisasi (abad 9-14), mencakup periode Aeian dan Kamakura
Ø  Periode lanjutan (abad 15-20), mencakup periode Muromachi, Momoyama, dan Edo serta zaman modern





Periode kedatangan 
Manifestasi agama Buddha pada periode ini adalah penyesuaian (adaptasi) terhadap kepercayaan asli bangsa Jepang, yakni agama Shinto. Para bhikṣu pada masa ini harus dapat melaksanakan upacara keagamaan bersamaan dengan upacara pemujaan nenek moyang. Secara bertahap agama Buddha dapat mempertahankan diri dan berkembang di antara rakyat banyak tanpa menyisihkan agama Shinto. Penerapan ajaran agama Buddha dari China oleh Jepang berdasarkan latar belakang karakter kebudayaan China, di mana agama Buddha diterima oleh keluarga kaum aristo­crat. Kaum aristocrat di Jepang pada waktu itu adalah kaum intelektual. Begitu kaum aristocrat menerima agama Buddha, maka penyebarannya ke seluruh negeri berlangsung dengan cepat. Beberapa penguasa di Jepang pada zaman kuno menerima agama Buddha sebagai pedoman hidup. Pangeran Shotoku (574-621), di bawah pemerintahan Ratu Suiko banyak berperan dalam perkembangan agama Buddha di Jepang, misalnya dengan mendirikan Vihāra Horyuji dan menulis banyak komentar mengenai ketiga kitab suci agama Buddha.[2] 
Pada periode ini tercatat enam aliran agama Buddha yang diperkenalkan dan berkembang di Jepang, yakni :
Ø  Kusha (aliran Abhidharmakosa),
Ø  Sanron (aliran Tiga Kitab Suci dari Madyamika),
Ø  Jojitsu (aliran Satyasiddhi-sastra),
Ø  Kegon (aliran Avatamsaka),
Ø  Hosso (aliran Dharma-laksana),
Ø  Ratsu (aliran Vinaya).




Periode nasionalisasi
Periode ini diawali dengan munculnya dua aliran agama Buddha di Jepang, yaitu aliran Tendai oleh Saicho (797-822) dan aliran Shingon oleh Kukai (774-835). Tujuan dari para pendiri aliran tersebut adalah agar agama Buddha dapat diterima oleh rakyat Jepang.  Selama pemerintahan Nara (710-884) sesungguhnya agama Buddha telah menjadi agama negara. Kaisar Shomu secara aktif telah mempropagandakan agama ini dan membuat patung Bud­dha yang besar di Nara serta menjadikannya sebagai pusat kebudayaan nasional. Di tiap propinsi dibangun pagoda-pagoda dan sistem pembabaran Dhamma yang efektif sesuai dengan keadaan setempat. Sekte Kegon (Huan Yen) versi Jepang memberikan ideologi Buddhis baru bagi negara. Selama pemerintahan Nara terdapat 6 sekte yang berkembang di Jepang. Sekte Kagon (sekte Hwaom Korea) adalah sekte yang mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa semua yang ada di dalam ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang terwujud di dalam tubuh Buddha. Pandangan dan kepercayaan ini didasarkan pada Avatamsamkasutra. Pendidikan dan pemikiran Ritsu terutama lebih ditekankan pada disiplin (vinaya) serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat alam yang ideal yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan Lotus Sutra dan penekanannya pada peranan umat seperti penjelasan dalam Vimalakitri Sutra. Dengan adanya cara penyelamatan yang ideal ini menjadi jelas bagi raja bahwa rohaniawan terlalu banyak berperan dan aktif di dalam politik. [3]
Selama pemerintahan anak perempuan (putri) Kaisar Shoma, bhikṣu Donkyu yang bertindak selaku pejabat pemerintah dari putri kaisar tersebut telah mencoba untuk menjadi kaisar. Hanya karena adanya perlawanan para aristocrat, maka Jepang tidak menjadi negara teokrasi beragama Buddha aliran Tibet. Sebagian dari perlawanan ini karena adanya tekanan dari Saṅgha, karena adanya situasi yang tidak menguntungkan ini, akhirnya pengadilan memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kyoto pada tahun 794. Pada tahun 804, Bhikṣu Saichi dikirim ke China dan kemudian kembali ke Jepang untuk mengajarkan (membabarkan) doktrin dari Tien Tai (dalam bahasa Jepang disebut Tendai).   

Walaupun sekte Hasso telah mengajarkan bahwa ada beberapa yang tidak bisa diselamatkan, tetapi Tendai menekankan pembabatan dan penyelamatan alam. Agama Buddha Jepang yang berkarakter Jepang terus berlangsung dan dapat didengar dalam pendidikan dan pemikiran baru dari masa Huan. Kompleks Vihāra Tendai di atas pegunungan Hie dikenal sebagai cikal bakal dari agama Buddha di dalam menyelamatkan keamanan negara.
B.     Aliran – aliran, ajaran – ajaran beserta  tokohnya
 Aliran Shingon adalah salah satu bentuk dari aliran Tantra yang diperkenalkan kepada Jepang oleh Bhikṣu Kukai di awal abad ke-­9. Agama Buddha Shingon menentukan penyatuan dari pemeluknya dengan Buddha (persatuan Kawula-Gusti) dalam berbagai macam bentuknya. Dalam perkembangan sekte-sekte Buddhis, Tendai dan Shingon bercampur baur dengan agama Shinto yang nampak dalam penyatuan pemujaan dewa Shinto dan dewa-dewa dalam agama Buddha, sehingga terjadi persekutuan pemujaan.   Gerakan dalam agama Buddha terjadi pada abad ke-10 dengan munculnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha. Banyak orang yang memeluk kepercayaan ini karena kesederhanaan ajaran, yakni dengan mengucapkan ”Amitābha Buddha” secara berulang-ulang akan terlahir di Tanah Suci (Sukhavati). Kemudian gerakan lain banyak muncul pada abad ke-13 karena banyak didorong oleh cita­-cita umat awam untuk mencapai kemurnian dan kesederhanaan ajaran maupun caranya. Pandangan ini banyak dianut oleh para petani dan prajurit. Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282).[4]





1.      Perkembangan Nichiren
            Pada abad ke-13, agama Buddha di Jepang menghasilkan seorang pembaharu yakni Bhikṣu Nichiren (1222-1282). Pemimpin yang memiliki kharisma ini mengajarkan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci NamaMyohorengekyo (terpujilah Sadharmapundarika Sūtra) dan beliau tidak ragu-ragu untuk mengkritik orang lain. Ramalan Nichiren mengenai bangsa Mongol yang akan menyerang Jepang menyebabkan sekte ini terkenal di Jepang. Dalam sekte Nichiren terdapat dua kelompok yang besar, yaitu :
Ø  Nichiren Shu
Ø  Nichiren Shoshu
Setelah Nichiren wafat, para pengikutnya sepakat bahwa yang bertanggung jawab memelihara makamnya seharusnya dilakukan secara bergiliran oleh para siswa utamanya. Seorang di antaranya adalah Niko yang menyatakan bahwa jika gilirannya tiba maka dia bersama pengikutnya akan memelihara makam itu secara tetap. Sebaliknya para siswa utama yang lain, di antaranya Nichiko meninggalkan Gunung Minofu, tempat makam Nichiren di Candi Kuonvi, dan pada tahun 1290 mendirikan Vihāra Daisekeji, yang kini merupakan pusat Nichiren Shoshu di kaki Gunung Fuji. Perlawanan Nichiko kepada lima siswa yang lain tidak hanya terbatas pada pewarisan makam Nichiren, tetapi lebih daripada itu, yaitu pemisahan total secara doctrinal (ajaran). Dalam melawan 5 teman seperguruannya yang memegang teguh 28 pasal dari Sadharmapundarika Sūtra (yakni 14 pasal pertama yang disebut Jakumon dan 14 pasal berikut yang disebut Honmonyang) yang merupakan sifat eternal dari Buddha untuk menyatakan diri Beliau agar manusia dapat mengetahui dan berkomunikasi dengan beliau.
Nichiren Shoshu berkeyakinan bahwa Nichiren adalah pendiri agama dan Nichiko sebagai pendiri sekte ajarannya. Nichiren adalah seorang Bodhisatta (Bosatsu) dan bukan Bud­dha zaman sekarang. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan yang tajam dan tidak adanya kesesuaian paham dan langkah antara sekte Nichiren Shoshu dengan sekte-sekte agama Buddha yang lain.[5]
Pada khotbahnya yang terakhir yang dikenal dalam bahasa Jepang sebagai ohudsu myogo menyerukan kesatuan antara penguasa negara dan lembaga Buddhis dan menuntut agar agama Buddha dinyatakan sebagai agama negara. Dengan berprinsip bahwa masa ini adalah zaman mappo (akhir zaman) sehingga terjadi kemerosotan, maka dalam agama Buddha, Nichiren Shoshu yang paling berhak memberikan keselamatan yang berharga, sedangkan Buddha Gotama menduduki posisi kedua. Bahkan Lotus Sūtra yang oleh aliran Nichiren dipandang sebagai puncak ajaran Buddha Gotama dianggap kurang penting dibandingkan dengan 7 suku kata nichiren vat tu nama Muoho rengekyo (terpujilah pembabaran Lotus Sūtra). Pertentangan antara Nichiren Shoshu dengan sekte-sekte agama Buddha yang masih berpegang pada ajaran Buddha Gotama dipertajam dengan ajaran "semua manusia dan makhluk-makhluk surga kecuali Buddha  adalah pengikut jalan sesat, oleh karena itu sūtra-sūtra aliran Kegon, Agon, Hodo, hanya Nehan, dan Danichi, semua Sūtra kecuali Lotus Sūtra, adalah ajaran sesat. Semua orang yang membimbing orang 7 sekte kecuali sekte Tendai adalah ”Setan Penyiksa” yang mengatur orang-orang ke jalan sesat. (All of the human and heavenly realm except that of the Bud­dha are evil ways. Therefore Kegon, Agon, Hodo, hannya, Nehan, Dainiehi sutras all the sutras except the Lotus Sutra, are evil ways. All those who lead people into any of the seven sects except Tendai are tormenting devils leading people in to the evil paths). Dengan berakhirnya periode Kamakura, maka di Jepang tidak terdapat perkembangan agama yang berarti, kecuali meluasnya beberapa aliran.
Pada zaman Edo (1603-1867), agama Buddha sudah kembali menjadi agama nasional di bawah perlindungan Shogun Tokogawa. Pada masa pemerintahan Shogun Tokogawa, agama Buddha di Jepang menjadi tangan (alat) dari pemerintah. Vihāra sering digunakan sebagai pendataan dan pendaftaran penduduk dan dijadikan salah satu cara untuk mencegah penyebaran agama Kristen yang oleh pemerintah feodal dianggap sebagai ancaman politik. Agama Buddha tidak begitu populer di kalangan masyarakat pada masa pemerintahan Meiji (1868-1912). Pada waktu itu, muncul usaha untuk menjadikan Shinto sebagai agama negara, yang dilakukan dengan cara memurnikan ajaran Shinto yang telah bercampur dengan agama Buddha, dan untuk itu dibutuhkan suatu penyelesaian. Cara yang dilakukan antara lain dengan menyita tanah vihāra dan membatasi gerak-gerik para bhikṣu. Keadaan tersebut berubah setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, agama Buddha menghadapi saingan dari agama asli, Shinto. Namun hal itu dinetralisir dengan kebebasan memeluk agama yang diberikan oleh undang-undang dasar Jepang.
 Selama periode ultra nasional (1930-1945) pemikir-pemikir agama Buddha menyerukan penyatuan dunia Timur (Asia Timur Raya) ke dalam tanah suci Buddha (Buddha Land) di bawah pengawasan Jepang. Setelah perang berakhir, kelompok-kelompok agama Buddha yang baru dan lama mulai menyatakan bahwa agama Buddha merupakan agama negara yang penuh dengan perdamaian dan persaudaraan. Mendekati berakhirnya masa perang, aktivitas umat Buddha terlihat lebih nyata, diantaranya adalah gerakan dari agama baru seperti Soka Gokkai dari Nichiren Shoshu dan Resso Kosei Kai.
            Tokoh utama dalam penyebaran agama Budha di jepang adalah pangeran Shotoku Taishi (547-621 M) yang naik tahta pada593 M. Yang perananya dalam agama Buddha dapat di sejajarkan Raja Asoka di India. Ia mengirimkan para ahli jepang ke korea dan cina untkuk mempelajari agama, seni dan lmu pengetahuan. Pada tahun 607 M. Ia mendirikan kuil kuil i nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri hingga sekarang. Agama Buddha mengalami perkembangaan pesat pada periode nara (710-784 M) karena banyak suku suku berpengaruh dan bangsawan bangsawan terpandang  memluk agama tersebut.  
 
Buddha  di anggap oleh para penguasa dapat menjadi sarana utuk mencapai kesejahtraan rakyat. Pada masa Nara ini mucul beberapa aliran dalam agama buddha yang mengambil bentuk cina diantaranya aliran Hoso yang berpusat di Kofukuji dan Yakusuji, kemudian aliran Kegon dan aliran Ritsu. Dimasa kekuasaa Dinasti Heiyan (794-1185 M) muncul usaha usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi asli jepang dengan agama budhha anatara lain melalui ajaran Saicho dan Kukai. yang pertama, yang kemudian terkenal dngan sebutan Dengyo Daichi mengajarka bahwa sebenernya dewa dewa agama buddha adalah sama dengan dewa dewa dalam agama sinto, yang di sebut Kami, semntara Kukai yang selanjutnya terkenal dengan  sebutan Kobo Daishi mnajarkan bahwa dewa tertiggi dalam agama Sinto adalah sama dengan dewa tertinggi dalam agama buddha,
memasuki abad ke 13M muncul aliran aliran di jepang yang sejalan dengan perselisihan dan perebutan kekusaan di antara para penguasa, yaitu aliran Zain, aliran Amida, dan Niciren Souzu. Aliran zein yang mempunyai jalur pada ajaran Bodidarma di Cina betujuan untuk mengajarkan bahwa pencerahan haya dapat di peroleh melalui pemikira yang intuitif dengan menekankan pada disiplindalam melakukan samadi untuk mencapa pencerahan dan menolak doa doa atau kercayaan terhadap juru selamat. Aliran zein terbagi menjadi 2 golongan yaitu Soto zein dengan toohnya dogen dan aliran Rinzai dengan tokohnya Eisai.
Aliran Amida atau tanah suci mengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah istilah yang sederhana dengan cara percaya kepada budhha dan dengan menyebut Amidha orang akan selamat. Aliran ini mendapat banyak pengikut d kalangan petani danmenjadi semacam agama Mesianis ada saat terjadi kemelut sosial. Aliaran Niciren Souzu di dirikan oleh niciren. Ajaranya bertujuan mengembalikan ajaran agama buddha kepada bentuknya yang murni yang akan di jadikanya dasar bagi perbaikan masyarakat jepang dan menolak ritualisme alian tanah suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tapi ekslusif. Pada masa Tokugawa yang d kenal sebagai mas kedamaian di jepang, agama budhha di jadikan agama resmi negara. Pemerintah juga megatur kehidupan keagamaan dan mengunakanya untuk memeliahara tata tertib sosial dan kehidpan spiritual bangsa. Namun kaedaan terebut mengakibatkan rakyat menjadi kurang senang terhdap penguasa dan mendorong timbulnya aliran aliran baru dalam agama asli jepang yang berusaha untuk mengembalikan masyarakat jepang terhadap kepada kepercayaan asli mereka yaitu sinto
 [6]
KESIMPULAN






KESIMPULAN
Agama budha masuk ke jepang di perkirakan pada tahun 853 atu 552 m ketika sebuah kerajaan kecil di korea mengirimkan sebuah delegasi kaisar kimmeo di jepang membawa berbagai hadiah kaisar meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agma budhasuku soga menerima agama ini tokoh utama penebaran agama budha di jepang adalah pan geren sohotoku yang perananya agama budha dapat di sejatrakan dengan raja asoka di india ia juga menetpkan agama budha di negra, dan menerjemahkan sendiri kitab suci shadarma agama budha juga mempunyai ajaran_ajaranya seperti
Untuk mencintai alam
Ajakan untuk cinta damai















DAFTAR PUSTAKA
Djam’anuri, Agama Jepang. Yogyakarta, GarudaPress, 1998
 Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta, Yayasan obor Indonesia, 1995
Ali, Mukti (pengentar). Agama-agama di Dunia Yogyakarta, SUEPESS, 1998
           



[1] Djam anuri, Agama Jepang. Hal.24

[2] Mukti Ali (pengentar). Agama-agama di Dunia h.141

[3] Nichiren (1222-1282) adalah tokoh utama dalam sejarah Jepang  yang giat dalam usaha pembaharuan sosial

[4] Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 1995,hal. 175

[5] Nichiren (1222-1282) adalah tokoh utama dalam sejarah Jepang  yang giat dalam usaha pembaharuan sosial

[6] Tokoh penting yang berkontribusi dalam pembaharuuan agama Buddha, hidup pada tahun 774-835.